Wisata Kuliner Kopi Keliling di Bandung, Versi Kereta Angin sampai Mobil Van
Bandung – Sepasang kotak kayu mengapit roda belakang kereta angin jenis city bike berwarna putih gading. Di dalam kotak kayu itu tersimpan aneka peralatan, seperti kompor portabel, gas kaleng, gelas, air, dan kopi. Serangkaian huruf sambung tertera pada pintu kotak. Tulisannya: freshly made coffee here, seolah menegaskan kehadirannya di jalanan Kota Bandung.
Angga Gilang Ramadhan, 30 tahun, mengayuh sepeda itu beserta beban seberat 8 kilogram dari rumahnya di daerah Cikutra ke Taman Cibeunying. Jadwal rutin jualan kopi di sana mulai pukul 08.00 sampai 12.00 WIB, berlanjut sesi kedua pada pukul 20.00 hingga 23.00 WIB. Sebetulnya, kata dia, konsep berdagangnya tidak berkeliling kota, melainkan menetap atau mangkal. “Saya berjualan setiap hari, tetapi ada libur yang random tergantung mood,” kata Angga pada Kamis, 10 Maret 2022.
Dia merintis usaha kopi seduh pada 21 November 2020 di kawasan Jalan Dago. Namun karena ruas jalan itu sering ditutup, Angga pindah ke Jalan Saparua. Sempat menetap beberapa bulan, dia harus hengkang lagi karena diusir polisi sampai tiga kali di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM. Di tempat yang sekarang, di Taman Cibeunying, usahanya berjalan dengan baik. Saban hari, Angga membuat 15 sampai 20 cangkir kopi.
Usaha kopi keliling ini bergulir setelah Angga terkena pemutusan kerja di masa pandemi. Sempat mencari pekerjaan baru, namun sulit didapat. Kemudian dia berpikir untuk berjualan. “Keterampilan yang saya punya cuma bikin kopi,” ujarnya. Proses belajarnya seiring pengalaman kerja di kedai kopi sejak 2011.
Inspirasinya datang dari Biji Kopling yang sudah berjualan kopi keliling dengan mengendarai sepeda motor Vespa sejak 2015. Lantaran hanya punya sepeda, Agung menggenjotnya sebagai modal awal bersama uang Rp 3 juta hasil pinjaman dari teman yang kini sudah lunas. Olahan minumannya diberi label Matisti, dari kata bahasa Sansekerta yang berarti mendinginkan.
Angga memilih nama itu karena sederhana dan tidak pasaran. Matisti Beverage lengkapnya, juga berkonsep simpel dengan cita rasa spesial. Hanya memakai biji kopi arabika sesuai seleranya, Angga menyajikannya dengan teknik manual brew atau seduhan tanpa mesin dengan beragam cara. “Saya ingin mengajak konsumen membiasakan diri minum kopi asli dari biji kopi tanpa gula,” kata dia.
Edukasi lainnya ke konsumen misalkan soal keragaman manfaat dari minum kopi tanpa gula. Adapun biji kopinya, antara lain berasal dari tanah Gayo, Solok, Kamojang, Banjarnegara, Flores, Toraja, dan Papua. Angga membawa biji kopi yang berbeda-beda supaya konsumen tak bosan. Angga juga melengkapi dagangannya dengan minuman kemasan, seperti es kopi susu gula aren, es thai tea, dan es cokelat. Harganya sekitar Rp 7.000 hingga Rp 15 ribu.
Kendati belum membuat kopi dalam jumlah banyak, Angga menilai pelanggannya sangat loyal. Sekitar 80 persen adalah konsumen yang sama setiap hari, sisanya pembeli baru. Mereka umumnya lelaki berusia 20 sampai 40 tahun dari berbagai kalangan. Angga tak khawatir jika bersanding dengan penjual minuman kopi kemasan saat berjualan. “Saya tidak mengambil pasar mereka karena produk dan harganya berbeda,” ucapnya.
Untuk menjaga ikatan dengan pelanggan tetap, Angga konsisten berjualan setiap hari, menjaga kualitas sajian, dan melayani dengan prima. Dia tidak gentar dengan banyaknya pesaing di lini kopi karena masing-masing punya sasaran konsumen yang berbeda. Terlebih konsep berjualannya belum banyak ditemui di jalanan Kota Bandung maupun tempat lain. “Ini masih menjadi bisnis di area blue ocean karena unik dan konsumen bisa merasakan pengalaman berbeda,” ujarnya.
Angga kini berencana mengembangkan usahanya dengan membuka gerai. Hanya saja, dia terkendala modal. Untuk sementara, berjualan kopi keliling atau bergaya nomaden seperti ini bakal terus dilakoni selama fisiknya masih kuat. Dia juga mendapat banyak pelajaran dari berjualan kopi di jalanan. “Saya enggak mau pelajaran itu hilang.”
Di taman lain, Petpark di Jalan Ciliwung, Kota Bandung, ada Brurod Coffee yang berwujud sebuah kendaraan van. Bagian belakang atau ruang bagasinya menjadi area dapur layanan. Brorud Coffee telah memangkal di sana selama enam tahun dan van tersebut juga berkeliling sejak 2012. Dulu, Brorud Coffee kerap muncul di berbagai acara musik atau kegiatan komunitas.
Ada tiga unit mobil kopi keliling yang tersebar ke berbagai tempat. Namun sejak pandemi, hanya satu mobil yang keluar bersama dua karyawan yang bergantian menyajikan kopi. Buka dari siang hingga malam, pengunjung dapat memilih selusin menu kopi, seperti cappuccino, cafelatte, moccacino, dan es kopi susu. Ada pula green tea dan cokelat bagi yang tidak suka kopi.
Pemilik Brurod Coffee, Feri Triyono, 39 tahun, sajian kopinya berjenis robusta dan arabika dari Pangalengan dan Gunung Halu dengan seduhan manual. “Dalam sehari, kami membuat sekitar 30 sampai 40 gelas kopi,” kata Feri pada Jumat, 11 Maret 2022. Harganya minuman panasnya Rp 13 ribu, sedangkan minuman dingin Rp 16 ribu. Pembelinya sebagian besar lelaki dengan rentang usia mayoritas 20 sampai 30 tahun.
Feri mengaku tidak punya strategi khusus untuk menjaga pelanggannya terus datang. Terkadang ketika turut melayani, dia berbincang dengan konsumen sambil kongko bareng. Dia merasa tidak perlu mengedukasi pembeli karena umumnya sudah paham dengan jenis dan rasa kopi. “Ketika datang langsung memesan menu tertentu,” ujarnya. Jarang ada konsumen yang bingung atau bertanya menu kopi apa yang enak.
Kalaupun ada yang bertanya, Feri dan karyawannya memberikan rekomendasi jenis dan penyajian kopi tertentu, tergantung pemesannya. “Ibu-ibu atau cewek umumnya lebih sukanya kopi yang agak manis, kalau pembelinya bapak-bapak, pasti air mendidih kopi pahit,” ujarnya.
Feri tetap tenang dan tak perlu bersaing dengan banyaknya kedai kopi dan pedagang kopi keliling. Menurut dia, setiap penjual kopi memiliki konsep yang berbeda satu sama lain.