Nikah Beda Agama, Begini Aturannya di Indonesia
Jakarta – Nikah beda agama bukan perkara sederhana di Indonesia. Selain karena gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang berbelit juga menjadi alasan sejumlah pasangan beda agama batal menikah. Lalu, bagaimana aturan nikah beda agama di Indonesia?
Di Indonesia, secara yuridis formal, masalah perkawinan termasuk nikah beda agama, diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam rumusan tersebut diketahui tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pada Pasal 40 disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, salah satunya seorang wanita yang tidak beragam Islam.
Melansir dari jdih.tanahlautkab.go.id, meski begitu bukan berarti pernikahan beda agama tak dapat diwujudkan di Indonesia. Berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986, pasangan beda agama dapat meminta penetapan pengadilan. Peraturan tersebut menyatakan kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama. Sebab, tugas kantor catatan sipil adalah mencatat dan bukan mengesahkan.
Namun tak semua kantor catatan sipil berkenan menerima pernikahan beda agama. Jika ada pun nantinya kantor catatan sipil akan mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan beda agama tetap dapat memilih menikah dengan ketentuan agama masing-masing. Misalnya akad nikah ala Islam dan pemberkatan Kristen. Namun bukan perkara mudah menemukan pemuka agama yang bersedia menikahkan pasangan beda agama.
Sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. Perkawinan campuran diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 Nomor 158, disingkat GHR. Dalam Pasal 1 GHR disebutkan perkawinan campuran merupakan perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
Karena rumitnya birokrasi di Indonesia, untuk melegalkan pernikahan, pasangan beda agama biasanya tunduk sementara pada salah satu hukum agama. Yaitu salah satu pihak harus pindah agama. Jika tidak ada kesepakatan, maka pernikahan bisa batal. Jalan lainnya, menikah di luar negeri. Pasangan yang menikah di luar negeri akan mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI). Ketika ke Indonesia, pasang beda agama tersebut dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.